Monday, October 17, 2011

Ki Hanjuang Midang

Paramitra anu sayogina netep atanapi linggih di Tatar Sunda/Jawa Barat tangtu uninga kana tangkal Hanjuang / Ki Hanjuang. Lumrahna tumuwuh di payuneun bumi/padumukan atanapi di kebon sareng huma/sawah. Didieu simkuring bade mertelakeun naon kakaitna tangkal Ki Hanjuang sareng perkawis KaSundaan. Kunaha aya kakaitna kitu? Ieu mah ukur ngajentrekeun pendapat simkuring pribadi we. Upami aya kalepatan hampura saageung-ageungna.Teu lian simkuring mah ukur nyobian mukakeun lawang Ki Sunda ku carana pribados.


Saliwat ngeunaan Ki Hanjuang

Hanjuang (Cordyline) atau andong (bahasa Jawa) merupakan sekelompok tumbuhan monokotil berbatang yang sering dijumpai di taman sebagai tanaman hias. Marga Cordyline memiliki sekitar 15 jenis. Sistem APG II memasukkan hanjuang ke dalam suku Laxmanniaceae. Namun demikian, beberapa pustaka lain memasukkannya ke dalam Liliaceae (suku bakung-bakungan) serta Agavaceae.

Nama hanjuang juga dipakai untuk sekelompok tumbuhan dari marga Dracaena.

Daun hanjuang khas, berbentuk lanset, berukuran agak besar dan berwarna hijau kemerah-merahan (Cordyline) atau berwarna hijau muda (Dracaena).

Jenis

Kebanyakan jenis Cordyline merupakan tanaman hias karena warna daunnya yang berubah menjadi merah jika mendapat sinar matahari langsung. Beberapa jenisnya:
Cordyline australis
Cordyline banksii
Cordyline fruticosa syn. C. terminalis (hanjuang biasa)
Cordyline haageana
Cordyline indivisa
Cordyline obtecta syn. C. kaspar, C. baueri dari Selandia Baru
Cordyline pumilio
Cordyline stricta
 
Kegunaan

Hanjuang Cordyline sering dipakai sebagai tanaman pelindung dan pembatas blok pada sawah, ladang, serta perkebunan teh atau kina di Indonesia. Hanjuang, terutama C. fruticosa, populer sebagai tanaman hias. Daun hanjuang dipakai sebagai pembungkus makanan. Hasil penelitian menunjukkan, bungkus daun hanjuang memiliki kemampuan antibakterial.

Dalam masyarakat Sunda, Jawa, serta Bali, hanjuang memiliki makna sebagai "pembatas ruang", baik secara harafiah maupun filosofis.



Bahasan ieu dikawitan ku hiji patarosan simkuring ka hiji sepuh nu uninga kana Ka Sundaan, perkawis kunaha Ki Hanjuang dina salah sahiji sumber disebatkeun birehna janten ciciren/simbol Nagara Padjadjaran.Nahaon kakaitna,sareng kumaha sajarahna.
Hanjuang/Ki Hanjuang, tarutami Ki Hanjuang hejo, mangrupikeun siloka aya na "Perjuangan". Simbul resmi bahasa sandi nu di pertelakeun ku tutuwuhan. Ciren buktos nu parantos yaktos nyaeta ayana Prasasti tutuwuhan Hanjuang, namina Prasasti Geger Hanjuang.

Sumber informasi budaya yang sangat penting dalam rangka perwujudan kesatuan budaya nasional di Jawa Barat adalah naskah dan prasasti. Naskah Sunda dan prasasti yang mengungkap keterangan tentang adanya kabuyutan yang berkaitan dengan keberadaan Galunggung yang identik dengan Kabupaten Tasikmalaya masa kini adalah Naskah Amanat Galunggung dan Carita Parahiyangan, serta Prasasti Geger Hanjuang. 


Esensi Naskah Amanat Galunggung berisi tentang ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat yang dituturkan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya yang umumnya bagi masyarakat luas. Menurut salah satu karya Pangeran Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa adalah Raja Sunda yang memerintah 1175-1297 Masehi, mula-mula berkedudukan di Saunggalah yang lokasinya termasuk daerah Galunggung, kemudian pindah ke Pakuan. Berdasarkan hal ini pula, Danasasmita memberi judul Amanat Galunggung.

Naskah Amanat Galunggung berkelindan erat dengan Prasasti Geger Hanjuang karena isinya ada kesesuaian berkenaan dengan pembuatan parit (pertahanan) Rumantak pada masa pemerintahan Batari Hyang yang bertakhta di Galunggung. Terjemahan teksnya, "Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika Ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahiyangta Wuwus, maka ia berputra Maharaja Dewata, Maharaja Dewata berputra Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputra Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputra Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Rana berputra..."

Prasasti Geger Hanjuang kini tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 sentimeter dan lebarnya 60 sentimeter.

Prasasti Geger Hanjuang isinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda buhun (Bandingkan Sunardjo, dkk., 1978) yang cukup terang untuk dibaca, terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:

tra ba i gunna apuy na-

sta gomati sakakala rumata-

k disusu (k) ku batari hyang pun

Tafsirannya, pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang.

Edisi lain:
Bah o gunna,
apuy le,
Dya wwang a bu ti saka kala ru? Mata
k di yu yu ku batari hyang pun.

Pada baris pertama, Bah mungkin singkatan dari Brahma. O mengingatkan kepada ong (om); guna (guna) berarti tiga (3), apuy 3 mungkin berhubungan dengan ajaran Ketuhanan Hindu (Triguna). Dijelaskan, nilai guna dalam candrasangkala bukanlah pengganti untuk bilangan 3. Maka dalam guna 3 apuy 3, dibaca 1 maka menjadi 1333. Holle yang pertama membaca prasasti itu tidak menjelaskan perkataan mana dalam prasasti itu yang dimaksudkannya sebagai angka 1 dan angka 3 sebuah lagi. Adapun mengenai baris kedua, beliau menyebutkan, baris tersebut "kurang jelas".

Perhitungan pemilihan momen sejarah yang dijadikan sebagai pangkal tolak Hari Jadi Tasikmalaya, juga ditempuh melalui beberapa proses berdasarkan penilaian objektif dan kenyataan sejarah. Enam faktor penting momen tersebut adalah Galunggung menurut prasasti Geger Hanjuang, periode pemerintahan di Sukakerta, berdirinya Sukapura beserta perkembangannya, perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura ke Manonjaya; perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya, yang diikuti perubahan nama Kab. Sukapura menjadi Kab. Tasikmalaya, serta Tasikmalaya dalam tatanan Republik Indonesia. Prasasti beserta beraneka ragam patilasan berupa lingga dan benda purbakala lain di Tasikmalaya, bisa dijadikan pendukung kuatnya kedudukan Kabuyutan Galunggung dalam penentuan Hari Jadi Tasikmalaya.

Momen pertama yang merunut serta dikuatkan berdasarkan isi teks Prasasti Geger Hanjuang di Linggawangi sebagai pernyataan adanya pemerintahan Galunggung pada tanggal 13 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka. Jika dihitung berdasarkan sistem Tarikh Hijriah, tanggal 1 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka jatuh pada 1 Safar 505 Hijriah, bertepatan dengan 9 Agustus 1111 Masehi. Dengan demikian, tanggal 13 Bhadrapada sama dengan 13 Safar tahun 505 Hijriah atau bertepatan dengan 21 Agustus 1111 Masehi.

Berdasarkan itu, ternyata Prasasti Geger Hanjuang menempati kedudukan tertinggi dari momen lainnya. Dengan demikian, momen pertama itulah yang paling tepat dan dijadikan sebagai tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya. Pada periode tersebut, di Tasikmalaya telah berdiri pusat pemerintahan.

Konstelasi dari tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya adalah Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat pada 21 Agustus 1111 Masehi, sebagai tanda upacara pentasbihan Batari Hyang sebagai penguasa dan bertakhta di Galunggung. Prasasti Geger Hanjuang membuktikan, cerita rakyat/sastra lisan yang tersebar di sekitar Galunggung yang hampir punah, benar-benar terbukti dan ada. Kerajaan Galunggung yang semula berbentuk kebataraan diperintah wanita berjiwa prajurit yang cerdas, tangkas, cekatan, dan "nyantri". Ia sebanding dengan Prabu Wastu Kancana di Galuh dan Prabu Sri Baduga Maharaja di Raja di Pakuan Pajajaran. Tidak berlebihan jika ia layak digelari Siliwangi (ratu yang harum namanya) seperti raja-raja lain yang mampu "menyejahterakan rakyat banyak" yang bergelar Prabu Siliwangi.




Janten dimana aya perjuangan di dinya aya Hanjuang. Teras nyakseni na "proses perjuangan"atanapi hiji gambaran mancen tugas nagara,dimana aya pancen, di dinya di cecebkeun Hanjuang. Nu ku simkuring pimaksad simbol/jati Sunda oge tiasa dipedarkeun sapertos kieu; Kunaon kudu Hanjuang hejo? Hanjuang hejo janten simbul nyamuni dimanten upami direret ku sareretan mah teu patos katawis atra. Teu jelas. Upami tos diteungeutan nembe katinggal saluyu kana : "Kudu nyumput buni dinu caang". Hartosna teu ninggalikeun sagala nu aya dina diri (teu adigung) ngajajar sapapada batur hirup.
Seueur keneh buktos anu sejenna,contona carita perjuangan Eyang Jaya Perkosa anu di Kutamaya,Sumedang. Kareusian Galunggung, oge Geger Hanjaung anu aya di Ciguling,Sumedang.

Aya deui Ki Hanjuang beureum. Eta oge mangrupikeun ciri bahari nu dicandak kiwari. Biasana dipelak dipayuneun buruan. Eta mangrupikeun simbul kamuliaan,ajen diri ka rumuhun. Khususna nu ku simkuring terang,hampir sadyana urang Sunda tangtu melak hanjuang beureum di payuneun padumukanna. Eta janten sandi yen nu gaduh bumi teh nyakseni Urang Sunda. CAG!


Salim baktos ka pun lanceuk Kang Erwin Waluya Dinata


 

Thursday, October 6, 2011

Situs Watu Kujang & Watu Jolang

 
Perjalananku saat itu diawali dengan keinginanku untuk mengunjungi sebuah situs yang dinamakan Situs Megalitikum Arca Salaka Domas. Aku mulai mencari bahan di internet. Searching dengan keyword Salaka Domas. Lalu aku menemuan link Salaka Domas di sebuah situs pencarian. Aku mulai mencatat alamat situs tersebut. Beberapa hari kemudian dengan bekal  dan pengetahuan seadanya, aku berangkat dari kantor tempatku bekerja, karena alamat yang tertera di situs tersebut kebetulan tidak terlalu jauh dari alamat kantorku. Pencarian itu terasa begitu singkat dan mudah. Beberapa jam perjalanan aku sudah tiba di alamat yang kutuju. Daerah itu terletak di daerah perbukitan hijau dengan udara yang segar. Dengan diantar oleh seorang bapak petani yang sedang bekerja, aku tiba di situs itu. Tapi aku kaget dan sedikit heran, karena lokasi itu sangat berbeda jauh keadaan nya dengan foto-foto yang aku lihat di internet. Keheranan itu sudah aku alami bahkan ketika aku bertanya kepada tukang ojek di persimpangan jalan raya. Dia tidak tahu letak Salaka Domas,dan bahkan baru mendengar nama itu dari mulutku. Tapi dia tahu ada sebuah situs di alamat yang aku sebutkan,oleh karena itu aku mengacuhkan rasa curigaku. Pikirku mungkin tukang ojeg ini tidak terlalu familiar dengan nama Salaka Domas. Dimulai dengan medan yang cukup membuat aku bingung karena kondisinya berbeda dengan foto-foto di internet. Tapi aku masih tetap mengacuhkannya. Hingga ketika aku tiba di titik dimana situs itu berada. Disana terpampang sebuah papan yang bertuliskan “Situs Megalitikum Watu Kujang & Watu Jolang”. Ah, aku salah alamat! Ternyata ini bukan situs Salaka Domas yang aku cari.
Tapi yang lebih membuatku heran, dengan alamat yang salah yang aku dapatkan dari internet,ternyata aku bisa mengunjungi situs ini tanpa ada halangan yang begitu berarti. Allah seperti menuntunku begitu saja ketempat ini. Allahuakbar! Mungkin ini yang dinamakan napak tilas yang sejatinya tanpa diinginkan pun,leluhur sudah menuntun kita ketempat dimana diri kita berasal. “Mulih ka Jati, Mulang ka Asal” begitulah istilah Sundanya.
Baiklah, sekilas mengenai Situs Watu Kujang & Watu Jolang, situs ini terletak di daerah perbukitan dengan udara yang segar dan masih alami. Diliputi kabut tipis yang menghalangi sinar matahari yang redup. Bahkan sesekali hujan gerimis turun  dan menambah dingin dan gelapnya daerah tersebut. Situs ini seperti yang saku sebutkan, berbeda kondisinya dengan situs Salaka Domas. Area nya lebih kecil daripada situs Salaka Domas. Terdiri dari beberapa undakan batu yang tertata rapi,sebagian kecil menyerupai bentuk dan symbol-simbol tertentu. Ada sebuah kolam kecil dan sawung (tempat berteduh). Suasananya sepi karena tak ada seorang pun disana kecuali aku sendiri. Bahkan juru kunci yang bapak petani ceritakan kepadaku juga tidak aku temui. Sejenak aku melepas lelah dengan duduk-duduk di sawung, mengeluarkan rokok ‘Djarum Black’ku. Ku arahkan mata ke sekeliling area situs. Sangat terasa hawa yang sangat kuat,menandakan bahwa tempat ini sudah berusia tua dan sudah ada sejak lama. Aku padamkan sisa batang rokokku,lalu segera mangambil air wudhu di kolam. Kuteruskan sholat dhuha dan hajat dan sekedar memanjatkan doa. Lalu aku mulai berkeliling mengitari area situs. Mulai dari batu yang kecil dan besar ada disana. Tapi perhatianku tertuju pada sebuah batu yang paling besar yang dinaungi oleh atap seng. Bentuknya menyerupai senjata khas Suku Sunda, yaitu Kujang. Apakah ini yang dinamakan batu Kujang? Walaupun masih ada batu lain yang lebih kecil yang bentuknya sama, tapi perhatianku aku konsentrasikan dengan batu yang satu ini. Di sekeliling batu ini aku temukan bunga-bunga rampe yang sudah mulai membusuk. Ada bekas sesajen,seperti air kopi,buah kelapa yang sudah dikupas,batang rokok dan beberapa batang dupa.  Lalu dengan kamera HP aku mengabadikan batu itu. Langkahku kemudian aku bawa ke sebuah batu yang berbentuk agak tipis dan cekung. Ya, batu ini seperti jolang (sejenis bak) yang di cekungannya itu masih terlihat genangan air bekas hujan. Mungkin ini yang namanya Watu Jolang. Daerah ini didominasi oleh tumbuhan Hanjuang Merah. Disetiap sudut tumbuh pohon-pohon itu. Hal ini lumrah karena Hanjuang merupakan “ciciren”/ symbol budaya Sunda. Bagian demi bagian dari situs aku abadikan dengan kamera HP,termasuk daerah sekelilingnya diluar pagar situs. Setelah puas aku kembali ke sawung untuk melihat hasil jepretanku. Agak buram,tapi lumayan untuk kenang-kenangan dan bukti bahwa aku sudah pernah datang ke tempat ini. Sebelum pulang aku berniat menunggu beberapa saat,siapa tahu juru kunci tempat ini datang. Tapi setelah hampir satu jam,orang yang aku cari tidak juga muncul. Lalu aku putuskan untuk melangkah pergi dari tempat itu.
Sepulang dari situs itu,aku kembali membuka laptopku untuk masuk ke link yang sebelumnya sudah aku buka untuk mencari alamat situs Salaka Domas, dan ternyata aku membuka link yang salah. Sedang yang dinamakan Situs Arca Megalitikum Salaka Domas bahkan tidak terletak di kota tempat tinggalku! Hanya beberapa nama desa dan jalan yang hampir persis sama dengan Situs Watu Kujang & Watu Jolang berada. Luar biasa!
Situs Watu Jolang & Watu Kujang merupakan tempat yang penuh dengan aura tua dan mistis. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bahkan suasana itu masih terngiang dan terasa hampir di seluruh panca indera ku. Tapi walaupun begitu, kenangan perjalananku akan aku ingat seumur hidupku. Perjalanan ketika aku merasa dipanggil ke tempat dimana seharusnya aku ‘pulang’. Jika ada rezeki dan umur aku akan mengunjungi tempat ini lagi. Tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupku dalam mencari sejatinya diriku. Menelusuri tapak tilas leluhur-leluhurku.
Ini ada satu sumber link yang menjelaskan Situs Watu Kujang & Watu Jolang
Secara administratif terletak di Kampung Tenjolaya Girang, Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug. Situs ini terletak di lereng Gunung Salak di areal yang bergelombang. Secara astronomis terletak pada koordinat 6045’09 LS dan 106044’39” BT.
Area situs dibatasi aliran Sungai Cisaat di sebelah timur, sebelah utara berupa lahan pertanian, pertemuan aliran Cileueur dan areal persawahan di sebelah barat, dan pertemuan aliran Sungai Cisaat serta dan Cileueur di sebelah selatan. Situs seluas .. ini dibatasi pagar kawat. Di wilayah tumbuh pohon bambu, laban, nangka, durian, damar, harendong, dan tanaman perdu seperti honje, salak, dan hanjuang. Untuk menuju ke situs, kendaraan roda dua dan empat hanya bisa mencapai di kampung terdekat, yaitu Kampung Tenjolaya. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Jalan setapak dan menanjak harus dilalui untuk mencapai situs ini. Tantangan lain adalah udara yang cukup dingin pada ketinggian situs mencapai 800-an m dari permukaan air laut.
Situs Batu Kujang I dan II merupakan situs permukaan tanahnya miring makin ke utara makin tinggi. Di beberapa bagian lahan dibatasi struktur batu sehingga lahan ini membentuk punden berundak. Bentuk lahan yang demikian terbagi menjadi dua, bagian pertama yang terletak di bagian timur situs dan bagian barat dari situs. Kedua bagian itu dibatasi oleh tanggul batu.
Mehir ”Batu Kujang”Situs Batu Kujang I dan II
Pada bagian paling bawah atau paling selatan dari bagian pertama situs terdapat tiga menhir berukuran tinggi 79 cm, 67 cm, dan 60 cm. Teras di atasnya tidak terdapat tinggalan arkeologis. Di teras berikutnya terdapat 3 menhir berjajar dengan ukuran tinggi 92 cm, 52 cm, 95 cm. Selain itu juga terdapat batu datar berbentuk tidak beraturan. Di teras keempat dan kelima tidak ditemukan tinggalan arkeologis.
Bagian kedua dari situs mempunyai bentuk lahan yang hampir sama dengan lahan bagian pertama. Teras pertama terdapat hamparan batu berukuran panjang 135 cm, lebar 120 cm, dan tinggi 6 cm. Di sekitar hamparan batu tersebut terdapat menhir berukuran tinggi 79 cm; batu datar berukuran panjang 120 cm, lebar 34 cm, dan tebal 11 cm; dolmen berukuran panjang 116 cm, lebar 52 cm, dan tebal 13 cm; dan hamparan batu berukuran 200 cm x 160 cm. Di teras kedua terdapat batu alam. Di teras selanjutnya terdapat menhir berukuran tinggi 147 cm, menhir yang lain berbentuk bengkok berukuran tinggi 105 cm. Di teras selanjutnya terdapat 3 menhir dan batu datar. Ukuran tinggi masing-masing menhir adalah 53 cm, 130 cm, dan 90 cm, sedangkan batu datar mempunyai ukuran 90 m x 60 cm. Di teras ketiga terdapat menhir berukuran tinggi 71 cm, dan dua batu datar yang masing-masing berukuran 90 cm x 37 cm dan 54 cm x 46 cm. Selain itu juga terdapat struktur batu melingkar dengan menhir berukuran tinggi 90 cm. Di teras keempat atau yang tertinggi terdapat struktur batu melingkar berdiameter 2m yang di tengahnya terdapat menhir dengan bentuk menyerupai kujang setinggi 208 cm. Menhir ini oleh masyarakat disebut Batu Kujang. Di sebelah timur batu kujang terdapat menhir berukuran tinggi 52 cm. Di teras ini pula terdapat batu alam berjajar yang masing-masing berukuran 205 cm x 57 cm x 13 cm; 173 cm x 24 cm x 8 cm; 287 cm x 67 cm x 9 cm. Tinggalan lain di teras ini adalah batu jolang berukuran 180 cm x 107 cm dengan kedalaman lubang 14 cm.
Selain di areal berpagar di lokasi ini terdapat batu alam berukuran 180 cm x 75 cm yang oleh masyarakat disebut batu mayat. Tinggalan arkeologis lainnya adalah menhir setinggi 95 cm.

Dokumentasi :
Watu Kujang
Watu Jolang
Situs-situs lain :







Monday, October 3, 2011

Aksara Sunda


Aksara Sunda Baku


Aksara Sunda Baku merupakan sistem penulisan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Saat ini Aksara Sunda Baku juga lazim disebut dengan istilah Aksara Sunda.


Latar Belakang dan Sejarah

Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.

Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.

Saat ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui beberapa acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara Sunda Baku juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama jalan-jalan utama di kota tersebut.

Namun demikian, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut diwajibkan untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan aksara daerah mungkin akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari bersamaan dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung dan Propinsi Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa Sekolah Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara daerah.

Perbandingan antara Aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna

Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut:
bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,
bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,
sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata,
ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.

Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

Sistem penulisan Aksara Sunda Baku

Aksara Swara

Aksara Ngalagena

Rarangkén

Berdasarkan letak penulisannya, 14 rarangkén dikelompokkan sebagai berikut:
rarangkén di atas huruf = 5 macam
rarangkén di bawah huruf = 3 macam
rarangkén sejajar huruf = 5 macam

a. Rarangkén sejajar

b. Rarangkén diatas huruf

c. Rarangkén di bawah huruf

Angka


Di masa sekarang, aksara Sunda menggunakan tanda baca Latin. Contohnya: koma, titik, titik koma, titik dua, tanda seru, tanda tanya, tanda kutip, tanda kurung, tanda kurung siku, dsb.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Sunda_Baku

Saturday, May 22, 2010

Kerajaan Sunda

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda
Kerajaan Sunda
Flag 669 – 1579 Flag

Flag
Location of 
Kerajaan Sunda
Wilayah Kerajaan Sunda
Ibu kota Pakuan Pajajaran, Kawali
Bahasa Sunda, Sansekerta
Agama Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan
Pemerintahan Monarki
Sejarah
 - Didirikan 669
 - Sunda Kelapa direbut Demak dan Cirebon pada tahun 1527, Serangan Banten pada tahun 1570-an 1579
Mata uang Mata uang emas dan perak


Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk .

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).


Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh s/d Pajajaran

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
  4. Rakeyan Banga (739 - 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
  10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
  15. Munding Ganawirya (964 - 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
  17. Brajawisésa (989 - 1012)
  18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
  27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora (1357-1371)
  33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
  35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Hubungan dengan kerajaan lain

Singasari

Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.

Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).



Kujang

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.



 
Kujang, senjata khas Sunda


Replika kujang pada monumen kota Bogor



Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot.



Deskripsi

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Manusia yang sempurna dihadapan Allah dan mempunyai derajat Ma'rifat yang tinggi. Pantas ageman (agama) Kujang menjadi icon Prabu Siliwangi. Sebagai Raja yang tidak terkalahkan.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Bagian-bagian Kujang

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Mitologi

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang
Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?

Cara-ciri Manusia ada 5

  1. Welas Asih (Cinta Kasih),
  2. Tatakrama (Etika Berprilaku),
  3. Undak Usuk (Etika Berbahasa),
  4. Budi Daya Budi Basa,
  5. Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".

Cara-ciri Bangsa ada 5

  1. Rupa,
  2. Basa,
  3. Adat,
  4. Aksara,
  5. Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.




Friday, December 18, 2009

Naskah Bujangga Manik

Bujangga Manik mangrupa salah sahiji naskah dina basa Sunda anu pohara gedé ajénna. Naskah ieu ditulis dina wangun puisi naratif dina daun nipah anu kiwari disimpen di Pabukon Bodleian di Oxford saprak taun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Ieu naskah diwangun ku 29 lambar daun nipah, anu unggal lambarna ngandung kira-kira 56 jajar (rumpaka) anu tiap rumpakana diwangun ku 8 padalisan, bentuk puisi Sunda buhun.

Anu ngalalakon dina ieu naskah téh nyaéta Prabu Jaya Pakuan nu boga landihan Bujangga Manik, saurang resi Hindu anu, sanajan mangrupa saurang prabu di karaton Pakuan Pajajaran (puseur dayeuh Karajaan Sunda, anu perenahna di wewengkon anu ayeuna jadi dayeuh Bogor), leuwih resep ngalakonan hirup jadi resi. Salaku resi, manéhna ngumbara mapay kabuyutan atawa puseur kaagamaan (Hindu) nu aya di Jawa jeung Bali. Anjeunna nyaritakeun yén pangumbaraanana téh dipaju dua kali. Samulangna ti Jawa, Bujangga Manik tatapa di hiji gunung di Tanah Sunda (bale geusan ngajadina) nepi ka pupusna. Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems, KITLV Press.

Écés pisan, tina carita dina jero naskah kasebut, yén naskah Bujangga Manik asalna ti jaman saméméh Islam asup ka Tatar Sunda. Naskah kasebut henteu ngandung hiji ogé kecap-kecap anu asalna tina basa Arab. Disebutna Majapait, Malaka sarta Demak ngajadikeun urang bisa neguh yén naskah ieu ditulis dina ahir taun 1400-an atawa awal taun 1500-an.Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems, KITLV Press.

Naskah ieu pohara gedé ajénna lantaran ngagambarkeun topografi pulo Jawa dina kira-kira abad ke-15. Leuwih ti 450 ngaran tempat, gunung sarta walungan disebutkeun dina ieu naskah. Sawaréh ti ngaran-ngaran tempat kasebut masih dipaké nepi ka ayeuna

Ringkesan Eusi Naskah


Anu nulis naskah buhun ieu téh nyaéta Prabu Jaya Pakuan, bisa ditempo dina rumpaka ka 14. Pangeran Jaya Pakuan boga landihan Bujangga Manik, anu bisa kapanggih munggaran dina rumpaka ka 456. Dina rumpaka 15-20 dicaritakeun yén anjeunna baris ninggalkeun ambuna pikeun ngumbara ka arah wétan. Anjeunna pohara taliti dina nyaritakeun lalampahanana.


Bujangga Manik mitembeyan lalampahan kahijina ngaliwatan wewengkon Puncak. Waktu Bujangga Manik leumpang nanjak ka wewengkon Puncak, anjeuna reureuh heula, diuk, ngipasan awak sarta nempokeun kaéndahan alam hususna Gunung Gedé anu dina rumpaka ka 59 nepi ka 64, disebut ku anjeunna sabagé titik pangluhurna nu aya di dayeuh Pakuan (ibukota Karajaan Sunda).

Ti Puncak, anjeunna neruskeun lalampahan nepi ka meuntas Cipamali (ayeuna mindeng disebut Kali Brebes ) pikeun asup ka wewengkon Jawa. Di wewengkon Jawa anjeunna mapay-mapay patempatan anu kawengku ku Majapait. Patempatan anu kawengku ku karajaan Demak (alas Demak) ogé kaliwatan. Sadatang di Pamalang, Bujangga Manik nineung ka ambuna (rumpaka 89) sarta buleud haté pikeun balik. Tapi dina mangsa ieu, anjeunna leuwih milih jalan laut nyaéta naék kapal anu datang ti Malaka. Kasultanan Malaka mimiti pertengahan abad ke-15 nepi ka ditalukkeunna ku Portugis ngawasa perdagangan di laut.

Miangna kapal ti darmaga digambarkeun kawas upacara pésta (rumpaka 96-120): bedil ditémbakkeun tujuh kali, pakakas musik ditabeuh, sawatara lagu ditembangkeun kalayan tarik ku awak kapal; bahan-bahan anu nyusun kapal ogé diwincik ku Bujangga Manik; aya awi gombong jeung awi nyowana. Bahan tina hoé ogé aya rupa-rupa, hoé muka, hoé omas jeung hoé walatung. Tihang kapal dijieun tina kai laka. Bujangga Manik ogé helok ningali awak kapal anu asalna ti réa sélér.

Lalampahan ti Pamalang ka Sunda Kalapa, palabuhan Karajaan Sunda, dilayaran sajero waktu satengah bulan. (rumpaka 121), anu méré gambaran yén kapal anu ditumpakan téh nyimpang ka sababaraha patempatan nu aya diantara Pamalang jeung Kalapa. Tina palayaran kasebut, Bujangga Manik nyieun ngaran landihan séjénna nyaéta Ameng Layaran.

Ti Sunda Kalapa, Bujangga Manik ngaliwatan Pabéyaan sarta neruskeun lalampahan ka karaton di Pakuan, di bagian kidul dayeuh Bogor kiwari (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik asup ka Pakancilan (rumpaka 145), terus asup ka balé réncéng (paviliun) anu diréka-réka (didekorasi) sarta tuluy diuk di dinya. Bujanga Manik nempo ambuna keur ninun (cara ninunna dijelaskeun dina rumpaka 160-164). Ambuna kagét jeung bungah nempo anakna mulang. Anjeunna geura-giru ninggalkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyingkabkeun sawatara kasang carita (hordéng) nu aya rarawisanna, sarta unggah kana ranjang. Ambuna Bujangga Manik nyiapkeun pangbagéa ka anakna, nyokot sabaki seupaheun, mérésan rambut, sarta maké kaén mahal. Anjeunna terus turun tina ranjang, kaluar ti imah, nuju ka balé réncéng sarta ngabagéakeun anakna. Bujangga Manik nampa seupaheun anu disuguhkeun ku ambuna.

Dina bagian saterusna, dicaritakeun ngeunaan putri Ajung Larang Sakéan Kilat Bancana. Emban Jompong Larang ninggalkeun kadaton, meuntasan Cipakancilan sarta datang ka karaton Bujangga Manik. Di karaton kasebut Jompong Larang paamprok jeung Bujangga Manik. Jompong Larang kataji pisan ku Bujangga Manik (rumpaka 267-273).

Samulangna ka kadaton, Jompong Larang manggihan putri Ajung Larang anu pareng keur riweuh ninun. Sang putri ngabogaan ebun Cina beunang ngimpor ti mancanagara (rumpaka 284-290), nempo Jompong Larang anu geura-giru, naék ka manggung sarta saterusna diuk di gigireun sang putri. Putri nanyakeun talatah naon anu dibawana; Jompong Larang ngomong yén manéhna nempo lalaki anu pohara kasép, sabanding pikeun putri Ajung Larang. Manéhna nyaritakeun yén Ameng Layaran leuwih kasép batan Banyak Catra atawa Silih Wangi, atawa ponakan sang putri (rumpaka 321), atawa saha waé. Leuwih ti éta, lalaki éta singer nyieun karya sastra dina daun nipah sarta bisa basa Jawa (rumpaka 327). Putri Ajung Larang langsung ngarasa kapentang asmara. Anjeunna saterusna ngeureunkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyiapkeun hadiah pikeun Bujangga Manik ti mimiti seupaheun jeung perhiasan sarta barang nu éndah lianna kalayan ati-ati. Putri ogé ngahadiahkeun rupa-rupa parfum ti mancanagara anu pohara mahalna, baju katut keris anu éndah.

Ambuna Bujangga Manik ngadesek anakna pikeun nampa hadiah ti putri Ajung Larang, saterusna ngagambarkeun kageulisan putri sarta pujian séjénna. Ambuna Bujangga Manik ogé nyarita yén putri bakal sumerah diri ka Bujangga Manik. Saterusna anjeunna ngedalkeun kecap-kecap anu henteu kungsi ditepikeun ku putri Ajung Larang “Kuring baris sumerah diri. Kuring baris nyamber kawas heulang, ngerekeb kawas maung, ménta ditarima jadi kikindeuwan” (rumpaka 530-534). Ameng Layaran reuwas ngadéngé uucapan ambuna sarta nyebutkeun yén éta téh ucapan larangan (carek larangan) sarta buleud haté pikeun nampik hadiah kasebut (rumpaka 548-650). Manéhna ménta ambuna marengan Jompong Larang pikeun mulangkeun hadiah kasebut sarta ngupahan ka putri Ajung Larang. Manéhna leuwih resep hirup nyorangan sarta ngajaga ajaran anu katarima salila lalampahanana ka Jawa, di hiji pasantrén di lamping Gunung Merbabu (anu ku manéhna disebut Gunung Damalung sarta Pamrihan). Pikeun éta pisan Bujangga Manik kapaksa kudu ninggalkeun deui ambuna. (jajar 649-650).

Bujangga Manik nyokot kantong anu eusina buku gedé (apus ageung) sarta siksaguru, ogé iteuk hoé sarta pecut. Manéhna saterusna ngomong yén baris indit deui ka wétan, ka tungtung wétan pulo Jawa pikeun néangan patempatan pikeun jaga manéhna dikuburkan, pikeun néangan “laut pikeun palid, hiji tempat pikeun pupusna, hiji tempat pikeun ngagolérkeun awakna” (663-666). (langkung lengkep tinggali www.yatun.wordpress.com)
sumber : http://www.facebook.com/group.php?v=app_2373072738&gid=23697174916#/topic.php?uid=23697174916&topic=5959