Monday, October 17, 2011

Ki Hanjuang Midang

Paramitra anu sayogina netep atanapi linggih di Tatar Sunda/Jawa Barat tangtu uninga kana tangkal Hanjuang / Ki Hanjuang. Lumrahna tumuwuh di payuneun bumi/padumukan atanapi di kebon sareng huma/sawah. Didieu simkuring bade mertelakeun naon kakaitna tangkal Ki Hanjuang sareng perkawis KaSundaan. Kunaha aya kakaitna kitu? Ieu mah ukur ngajentrekeun pendapat simkuring pribadi we. Upami aya kalepatan hampura saageung-ageungna.Teu lian simkuring mah ukur nyobian mukakeun lawang Ki Sunda ku carana pribados.


Saliwat ngeunaan Ki Hanjuang

Hanjuang (Cordyline) atau andong (bahasa Jawa) merupakan sekelompok tumbuhan monokotil berbatang yang sering dijumpai di taman sebagai tanaman hias. Marga Cordyline memiliki sekitar 15 jenis. Sistem APG II memasukkan hanjuang ke dalam suku Laxmanniaceae. Namun demikian, beberapa pustaka lain memasukkannya ke dalam Liliaceae (suku bakung-bakungan) serta Agavaceae.

Nama hanjuang juga dipakai untuk sekelompok tumbuhan dari marga Dracaena.

Daun hanjuang khas, berbentuk lanset, berukuran agak besar dan berwarna hijau kemerah-merahan (Cordyline) atau berwarna hijau muda (Dracaena).

Jenis

Kebanyakan jenis Cordyline merupakan tanaman hias karena warna daunnya yang berubah menjadi merah jika mendapat sinar matahari langsung. Beberapa jenisnya:
Cordyline australis
Cordyline banksii
Cordyline fruticosa syn. C. terminalis (hanjuang biasa)
Cordyline haageana
Cordyline indivisa
Cordyline obtecta syn. C. kaspar, C. baueri dari Selandia Baru
Cordyline pumilio
Cordyline stricta
 
Kegunaan

Hanjuang Cordyline sering dipakai sebagai tanaman pelindung dan pembatas blok pada sawah, ladang, serta perkebunan teh atau kina di Indonesia. Hanjuang, terutama C. fruticosa, populer sebagai tanaman hias. Daun hanjuang dipakai sebagai pembungkus makanan. Hasil penelitian menunjukkan, bungkus daun hanjuang memiliki kemampuan antibakterial.

Dalam masyarakat Sunda, Jawa, serta Bali, hanjuang memiliki makna sebagai "pembatas ruang", baik secara harafiah maupun filosofis.



Bahasan ieu dikawitan ku hiji patarosan simkuring ka hiji sepuh nu uninga kana Ka Sundaan, perkawis kunaha Ki Hanjuang dina salah sahiji sumber disebatkeun birehna janten ciciren/simbol Nagara Padjadjaran.Nahaon kakaitna,sareng kumaha sajarahna.
Hanjuang/Ki Hanjuang, tarutami Ki Hanjuang hejo, mangrupikeun siloka aya na "Perjuangan". Simbul resmi bahasa sandi nu di pertelakeun ku tutuwuhan. Ciren buktos nu parantos yaktos nyaeta ayana Prasasti tutuwuhan Hanjuang, namina Prasasti Geger Hanjuang.

Sumber informasi budaya yang sangat penting dalam rangka perwujudan kesatuan budaya nasional di Jawa Barat adalah naskah dan prasasti. Naskah Sunda dan prasasti yang mengungkap keterangan tentang adanya kabuyutan yang berkaitan dengan keberadaan Galunggung yang identik dengan Kabupaten Tasikmalaya masa kini adalah Naskah Amanat Galunggung dan Carita Parahiyangan, serta Prasasti Geger Hanjuang. 


Esensi Naskah Amanat Galunggung berisi tentang ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat yang dituturkan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya yang umumnya bagi masyarakat luas. Menurut salah satu karya Pangeran Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa adalah Raja Sunda yang memerintah 1175-1297 Masehi, mula-mula berkedudukan di Saunggalah yang lokasinya termasuk daerah Galunggung, kemudian pindah ke Pakuan. Berdasarkan hal ini pula, Danasasmita memberi judul Amanat Galunggung.

Naskah Amanat Galunggung berkelindan erat dengan Prasasti Geger Hanjuang karena isinya ada kesesuaian berkenaan dengan pembuatan parit (pertahanan) Rumantak pada masa pemerintahan Batari Hyang yang bertakhta di Galunggung. Terjemahan teksnya, "Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika Ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahiyangta Wuwus, maka ia berputra Maharaja Dewata, Maharaja Dewata berputra Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputra Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputra Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Rana berputra..."

Prasasti Geger Hanjuang kini tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 sentimeter dan lebarnya 60 sentimeter.

Prasasti Geger Hanjuang isinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda buhun (Bandingkan Sunardjo, dkk., 1978) yang cukup terang untuk dibaca, terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:

tra ba i gunna apuy na-

sta gomati sakakala rumata-

k disusu (k) ku batari hyang pun

Tafsirannya, pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang.

Edisi lain:
Bah o gunna,
apuy le,
Dya wwang a bu ti saka kala ru? Mata
k di yu yu ku batari hyang pun.

Pada baris pertama, Bah mungkin singkatan dari Brahma. O mengingatkan kepada ong (om); guna (guna) berarti tiga (3), apuy 3 mungkin berhubungan dengan ajaran Ketuhanan Hindu (Triguna). Dijelaskan, nilai guna dalam candrasangkala bukanlah pengganti untuk bilangan 3. Maka dalam guna 3 apuy 3, dibaca 1 maka menjadi 1333. Holle yang pertama membaca prasasti itu tidak menjelaskan perkataan mana dalam prasasti itu yang dimaksudkannya sebagai angka 1 dan angka 3 sebuah lagi. Adapun mengenai baris kedua, beliau menyebutkan, baris tersebut "kurang jelas".

Perhitungan pemilihan momen sejarah yang dijadikan sebagai pangkal tolak Hari Jadi Tasikmalaya, juga ditempuh melalui beberapa proses berdasarkan penilaian objektif dan kenyataan sejarah. Enam faktor penting momen tersebut adalah Galunggung menurut prasasti Geger Hanjuang, periode pemerintahan di Sukakerta, berdirinya Sukapura beserta perkembangannya, perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura ke Manonjaya; perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya, yang diikuti perubahan nama Kab. Sukapura menjadi Kab. Tasikmalaya, serta Tasikmalaya dalam tatanan Republik Indonesia. Prasasti beserta beraneka ragam patilasan berupa lingga dan benda purbakala lain di Tasikmalaya, bisa dijadikan pendukung kuatnya kedudukan Kabuyutan Galunggung dalam penentuan Hari Jadi Tasikmalaya.

Momen pertama yang merunut serta dikuatkan berdasarkan isi teks Prasasti Geger Hanjuang di Linggawangi sebagai pernyataan adanya pemerintahan Galunggung pada tanggal 13 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka. Jika dihitung berdasarkan sistem Tarikh Hijriah, tanggal 1 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka jatuh pada 1 Safar 505 Hijriah, bertepatan dengan 9 Agustus 1111 Masehi. Dengan demikian, tanggal 13 Bhadrapada sama dengan 13 Safar tahun 505 Hijriah atau bertepatan dengan 21 Agustus 1111 Masehi.

Berdasarkan itu, ternyata Prasasti Geger Hanjuang menempati kedudukan tertinggi dari momen lainnya. Dengan demikian, momen pertama itulah yang paling tepat dan dijadikan sebagai tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya. Pada periode tersebut, di Tasikmalaya telah berdiri pusat pemerintahan.

Konstelasi dari tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya adalah Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat pada 21 Agustus 1111 Masehi, sebagai tanda upacara pentasbihan Batari Hyang sebagai penguasa dan bertakhta di Galunggung. Prasasti Geger Hanjuang membuktikan, cerita rakyat/sastra lisan yang tersebar di sekitar Galunggung yang hampir punah, benar-benar terbukti dan ada. Kerajaan Galunggung yang semula berbentuk kebataraan diperintah wanita berjiwa prajurit yang cerdas, tangkas, cekatan, dan "nyantri". Ia sebanding dengan Prabu Wastu Kancana di Galuh dan Prabu Sri Baduga Maharaja di Raja di Pakuan Pajajaran. Tidak berlebihan jika ia layak digelari Siliwangi (ratu yang harum namanya) seperti raja-raja lain yang mampu "menyejahterakan rakyat banyak" yang bergelar Prabu Siliwangi.




Janten dimana aya perjuangan di dinya aya Hanjuang. Teras nyakseni na "proses perjuangan"atanapi hiji gambaran mancen tugas nagara,dimana aya pancen, di dinya di cecebkeun Hanjuang. Nu ku simkuring pimaksad simbol/jati Sunda oge tiasa dipedarkeun sapertos kieu; Kunaon kudu Hanjuang hejo? Hanjuang hejo janten simbul nyamuni dimanten upami direret ku sareretan mah teu patos katawis atra. Teu jelas. Upami tos diteungeutan nembe katinggal saluyu kana : "Kudu nyumput buni dinu caang". Hartosna teu ninggalikeun sagala nu aya dina diri (teu adigung) ngajajar sapapada batur hirup.
Seueur keneh buktos anu sejenna,contona carita perjuangan Eyang Jaya Perkosa anu di Kutamaya,Sumedang. Kareusian Galunggung, oge Geger Hanjaung anu aya di Ciguling,Sumedang.

Aya deui Ki Hanjuang beureum. Eta oge mangrupikeun ciri bahari nu dicandak kiwari. Biasana dipelak dipayuneun buruan. Eta mangrupikeun simbul kamuliaan,ajen diri ka rumuhun. Khususna nu ku simkuring terang,hampir sadyana urang Sunda tangtu melak hanjuang beureum di payuneun padumukanna. Eta janten sandi yen nu gaduh bumi teh nyakseni Urang Sunda. CAG!


Salim baktos ka pun lanceuk Kang Erwin Waluya Dinata


 

Thursday, October 6, 2011

Situs Watu Kujang & Watu Jolang

 
Perjalananku saat itu diawali dengan keinginanku untuk mengunjungi sebuah situs yang dinamakan Situs Megalitikum Arca Salaka Domas. Aku mulai mencari bahan di internet. Searching dengan keyword Salaka Domas. Lalu aku menemuan link Salaka Domas di sebuah situs pencarian. Aku mulai mencatat alamat situs tersebut. Beberapa hari kemudian dengan bekal  dan pengetahuan seadanya, aku berangkat dari kantor tempatku bekerja, karena alamat yang tertera di situs tersebut kebetulan tidak terlalu jauh dari alamat kantorku. Pencarian itu terasa begitu singkat dan mudah. Beberapa jam perjalanan aku sudah tiba di alamat yang kutuju. Daerah itu terletak di daerah perbukitan hijau dengan udara yang segar. Dengan diantar oleh seorang bapak petani yang sedang bekerja, aku tiba di situs itu. Tapi aku kaget dan sedikit heran, karena lokasi itu sangat berbeda jauh keadaan nya dengan foto-foto yang aku lihat di internet. Keheranan itu sudah aku alami bahkan ketika aku bertanya kepada tukang ojek di persimpangan jalan raya. Dia tidak tahu letak Salaka Domas,dan bahkan baru mendengar nama itu dari mulutku. Tapi dia tahu ada sebuah situs di alamat yang aku sebutkan,oleh karena itu aku mengacuhkan rasa curigaku. Pikirku mungkin tukang ojeg ini tidak terlalu familiar dengan nama Salaka Domas. Dimulai dengan medan yang cukup membuat aku bingung karena kondisinya berbeda dengan foto-foto di internet. Tapi aku masih tetap mengacuhkannya. Hingga ketika aku tiba di titik dimana situs itu berada. Disana terpampang sebuah papan yang bertuliskan “Situs Megalitikum Watu Kujang & Watu Jolang”. Ah, aku salah alamat! Ternyata ini bukan situs Salaka Domas yang aku cari.
Tapi yang lebih membuatku heran, dengan alamat yang salah yang aku dapatkan dari internet,ternyata aku bisa mengunjungi situs ini tanpa ada halangan yang begitu berarti. Allah seperti menuntunku begitu saja ketempat ini. Allahuakbar! Mungkin ini yang dinamakan napak tilas yang sejatinya tanpa diinginkan pun,leluhur sudah menuntun kita ketempat dimana diri kita berasal. “Mulih ka Jati, Mulang ka Asal” begitulah istilah Sundanya.
Baiklah, sekilas mengenai Situs Watu Kujang & Watu Jolang, situs ini terletak di daerah perbukitan dengan udara yang segar dan masih alami. Diliputi kabut tipis yang menghalangi sinar matahari yang redup. Bahkan sesekali hujan gerimis turun  dan menambah dingin dan gelapnya daerah tersebut. Situs ini seperti yang saku sebutkan, berbeda kondisinya dengan situs Salaka Domas. Area nya lebih kecil daripada situs Salaka Domas. Terdiri dari beberapa undakan batu yang tertata rapi,sebagian kecil menyerupai bentuk dan symbol-simbol tertentu. Ada sebuah kolam kecil dan sawung (tempat berteduh). Suasananya sepi karena tak ada seorang pun disana kecuali aku sendiri. Bahkan juru kunci yang bapak petani ceritakan kepadaku juga tidak aku temui. Sejenak aku melepas lelah dengan duduk-duduk di sawung, mengeluarkan rokok ‘Djarum Black’ku. Ku arahkan mata ke sekeliling area situs. Sangat terasa hawa yang sangat kuat,menandakan bahwa tempat ini sudah berusia tua dan sudah ada sejak lama. Aku padamkan sisa batang rokokku,lalu segera mangambil air wudhu di kolam. Kuteruskan sholat dhuha dan hajat dan sekedar memanjatkan doa. Lalu aku mulai berkeliling mengitari area situs. Mulai dari batu yang kecil dan besar ada disana. Tapi perhatianku tertuju pada sebuah batu yang paling besar yang dinaungi oleh atap seng. Bentuknya menyerupai senjata khas Suku Sunda, yaitu Kujang. Apakah ini yang dinamakan batu Kujang? Walaupun masih ada batu lain yang lebih kecil yang bentuknya sama, tapi perhatianku aku konsentrasikan dengan batu yang satu ini. Di sekeliling batu ini aku temukan bunga-bunga rampe yang sudah mulai membusuk. Ada bekas sesajen,seperti air kopi,buah kelapa yang sudah dikupas,batang rokok dan beberapa batang dupa.  Lalu dengan kamera HP aku mengabadikan batu itu. Langkahku kemudian aku bawa ke sebuah batu yang berbentuk agak tipis dan cekung. Ya, batu ini seperti jolang (sejenis bak) yang di cekungannya itu masih terlihat genangan air bekas hujan. Mungkin ini yang namanya Watu Jolang. Daerah ini didominasi oleh tumbuhan Hanjuang Merah. Disetiap sudut tumbuh pohon-pohon itu. Hal ini lumrah karena Hanjuang merupakan “ciciren”/ symbol budaya Sunda. Bagian demi bagian dari situs aku abadikan dengan kamera HP,termasuk daerah sekelilingnya diluar pagar situs. Setelah puas aku kembali ke sawung untuk melihat hasil jepretanku. Agak buram,tapi lumayan untuk kenang-kenangan dan bukti bahwa aku sudah pernah datang ke tempat ini. Sebelum pulang aku berniat menunggu beberapa saat,siapa tahu juru kunci tempat ini datang. Tapi setelah hampir satu jam,orang yang aku cari tidak juga muncul. Lalu aku putuskan untuk melangkah pergi dari tempat itu.
Sepulang dari situs itu,aku kembali membuka laptopku untuk masuk ke link yang sebelumnya sudah aku buka untuk mencari alamat situs Salaka Domas, dan ternyata aku membuka link yang salah. Sedang yang dinamakan Situs Arca Megalitikum Salaka Domas bahkan tidak terletak di kota tempat tinggalku! Hanya beberapa nama desa dan jalan yang hampir persis sama dengan Situs Watu Kujang & Watu Jolang berada. Luar biasa!
Situs Watu Jolang & Watu Kujang merupakan tempat yang penuh dengan aura tua dan mistis. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bahkan suasana itu masih terngiang dan terasa hampir di seluruh panca indera ku. Tapi walaupun begitu, kenangan perjalananku akan aku ingat seumur hidupku. Perjalanan ketika aku merasa dipanggil ke tempat dimana seharusnya aku ‘pulang’. Jika ada rezeki dan umur aku akan mengunjungi tempat ini lagi. Tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupku dalam mencari sejatinya diriku. Menelusuri tapak tilas leluhur-leluhurku.
Ini ada satu sumber link yang menjelaskan Situs Watu Kujang & Watu Jolang
Secara administratif terletak di Kampung Tenjolaya Girang, Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug. Situs ini terletak di lereng Gunung Salak di areal yang bergelombang. Secara astronomis terletak pada koordinat 6045’09 LS dan 106044’39” BT.
Area situs dibatasi aliran Sungai Cisaat di sebelah timur, sebelah utara berupa lahan pertanian, pertemuan aliran Cileueur dan areal persawahan di sebelah barat, dan pertemuan aliran Sungai Cisaat serta dan Cileueur di sebelah selatan. Situs seluas .. ini dibatasi pagar kawat. Di wilayah tumbuh pohon bambu, laban, nangka, durian, damar, harendong, dan tanaman perdu seperti honje, salak, dan hanjuang. Untuk menuju ke situs, kendaraan roda dua dan empat hanya bisa mencapai di kampung terdekat, yaitu Kampung Tenjolaya. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Jalan setapak dan menanjak harus dilalui untuk mencapai situs ini. Tantangan lain adalah udara yang cukup dingin pada ketinggian situs mencapai 800-an m dari permukaan air laut.
Situs Batu Kujang I dan II merupakan situs permukaan tanahnya miring makin ke utara makin tinggi. Di beberapa bagian lahan dibatasi struktur batu sehingga lahan ini membentuk punden berundak. Bentuk lahan yang demikian terbagi menjadi dua, bagian pertama yang terletak di bagian timur situs dan bagian barat dari situs. Kedua bagian itu dibatasi oleh tanggul batu.
Mehir ”Batu Kujang”Situs Batu Kujang I dan II
Pada bagian paling bawah atau paling selatan dari bagian pertama situs terdapat tiga menhir berukuran tinggi 79 cm, 67 cm, dan 60 cm. Teras di atasnya tidak terdapat tinggalan arkeologis. Di teras berikutnya terdapat 3 menhir berjajar dengan ukuran tinggi 92 cm, 52 cm, 95 cm. Selain itu juga terdapat batu datar berbentuk tidak beraturan. Di teras keempat dan kelima tidak ditemukan tinggalan arkeologis.
Bagian kedua dari situs mempunyai bentuk lahan yang hampir sama dengan lahan bagian pertama. Teras pertama terdapat hamparan batu berukuran panjang 135 cm, lebar 120 cm, dan tinggi 6 cm. Di sekitar hamparan batu tersebut terdapat menhir berukuran tinggi 79 cm; batu datar berukuran panjang 120 cm, lebar 34 cm, dan tebal 11 cm; dolmen berukuran panjang 116 cm, lebar 52 cm, dan tebal 13 cm; dan hamparan batu berukuran 200 cm x 160 cm. Di teras kedua terdapat batu alam. Di teras selanjutnya terdapat menhir berukuran tinggi 147 cm, menhir yang lain berbentuk bengkok berukuran tinggi 105 cm. Di teras selanjutnya terdapat 3 menhir dan batu datar. Ukuran tinggi masing-masing menhir adalah 53 cm, 130 cm, dan 90 cm, sedangkan batu datar mempunyai ukuran 90 m x 60 cm. Di teras ketiga terdapat menhir berukuran tinggi 71 cm, dan dua batu datar yang masing-masing berukuran 90 cm x 37 cm dan 54 cm x 46 cm. Selain itu juga terdapat struktur batu melingkar dengan menhir berukuran tinggi 90 cm. Di teras keempat atau yang tertinggi terdapat struktur batu melingkar berdiameter 2m yang di tengahnya terdapat menhir dengan bentuk menyerupai kujang setinggi 208 cm. Menhir ini oleh masyarakat disebut Batu Kujang. Di sebelah timur batu kujang terdapat menhir berukuran tinggi 52 cm. Di teras ini pula terdapat batu alam berjajar yang masing-masing berukuran 205 cm x 57 cm x 13 cm; 173 cm x 24 cm x 8 cm; 287 cm x 67 cm x 9 cm. Tinggalan lain di teras ini adalah batu jolang berukuran 180 cm x 107 cm dengan kedalaman lubang 14 cm.
Selain di areal berpagar di lokasi ini terdapat batu alam berukuran 180 cm x 75 cm yang oleh masyarakat disebut batu mayat. Tinggalan arkeologis lainnya adalah menhir setinggi 95 cm.

Dokumentasi :
Watu Kujang
Watu Jolang
Situs-situs lain :







Monday, October 3, 2011

Aksara Sunda


Aksara Sunda Baku


Aksara Sunda Baku merupakan sistem penulisan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Saat ini Aksara Sunda Baku juga lazim disebut dengan istilah Aksara Sunda.


Latar Belakang dan Sejarah

Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.

Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.

Saat ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui beberapa acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara Sunda Baku juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama jalan-jalan utama di kota tersebut.

Namun demikian, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut diwajibkan untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan aksara daerah mungkin akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari bersamaan dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung dan Propinsi Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa Sekolah Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara daerah.

Perbandingan antara Aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna

Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut:
bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,
bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,
sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata,
ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.

Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

Sistem penulisan Aksara Sunda Baku

Aksara Swara

Aksara Ngalagena

Rarangkén

Berdasarkan letak penulisannya, 14 rarangkén dikelompokkan sebagai berikut:
rarangkén di atas huruf = 5 macam
rarangkén di bawah huruf = 3 macam
rarangkén sejajar huruf = 5 macam

a. Rarangkén sejajar

b. Rarangkén diatas huruf

c. Rarangkén di bawah huruf

Angka


Di masa sekarang, aksara Sunda menggunakan tanda baca Latin. Contohnya: koma, titik, titik koma, titik dua, tanda seru, tanda tanya, tanda kutip, tanda kurung, tanda kurung siku, dsb.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Sunda_Baku